NAMAKU TETHA
Parwiti
Hari
ini adalah hari yang paling dinantikan
oleh seluruh siswa khususnya siswa kelas 3 SLA. Perjuangan selama 3 tahun yang
diwarnai suka duka, kegalauan keceriaan canda dan tawa akan di buka lebar. Ada
yang menyambutnya dengan sedih, ada juga yang tanpa ekspresi namun ada juga siswa
yang menyambut dengan penuh antusias kebahagiaan karena sebuah keyakinan pasti
lulus, bukan sekedar lulus saja tapi dipastikan lulus dengan nilai terbaiknya.
Yaahh dia itu adalah aku ... karena namaku TETHA ... ”Benarkan
Ibu? Terimakasih yang setinggi-tingginya atas bimbingan dan cintamu Ibuku..Ibu
Wali kelasku terbaik ....”
Sepotong kertas kecil terikat pada setangkai mawar
merah merona segar lengkap dengan pita kuning orange yang sangat kontras pagi
itu telah dengan manis berada diatas mejaku. Sesaat sempat membuatku terpana
karena ini diluar adat kebiasaan, namun setelah ada tulisana Tetha, mengertilah
aku, bunga mawar ini ditujukan untuku, ibu penggantinya ketika di sekolah. Aku
mengajar di sini sudah lebih dari 5 tahun, menemui siswa dengan berbagai
karakter, sikap dan perilaku yang sangat bervariasi dan kompleks. Seiring
perkembangan mental dan fisik mereka maka cara menyikapi dan menghadapi
kehadiran mereka pun harus dengan cara tersendiri agar semua merasakan indahnya
berada di sekolah idola mereka. Aku mengajar mata pelajaran yang menurut
sebagian besar anak menganggap pelajaran yang lumayan sulit yaitu fisika.
Di sekolah inilah aku berusaha keras untuk membangun
chemistry dengan harmonis diantara guru maupun siswa dan karyawan. Satu
diantaranya Tetha. Saya mengenal Tetha di awal tahun ajaran baru ketika dia
masuk kelas 3. Dia seorang gadis remaja yang mulai tumbuh cantik dengan mata
berbinar dan kecerdasan yang tinggi, ekonomi berkecukupan, supel dan di sukai
semua temanya. Menyadari semua yang dia punya inilah yang mungkin menyebabkan
ada sikap sombong dalam dirinya. Sering tidak mengerjakan tugas adalah sesuatu
yang biasa, apalagi tugas sosial seperti piket kelas. Sebagai seorang Ibu
sekaligus pendidik aku berusaha keras untuk mengikis sikap ini. Dan ini
merupakan tantangan tersendiri karena di belakang anak tersebut didukung
sekelompok tim yang dia namakan “RANI”.
Pagi itu, Selasa pukul 09.20 ketika tengah
mengoreksi tugas rumah siswa tiba-tiba terdengar salam,” Assalamu’alaikum”
serentak satu ruang kelas menoleh mengamatispontan menjawab arah datangnya
suara itu dengan,
“Wa’alaikumsalam”.
Sesaat terdengar suara-suara ceracau beberapa siswa.
Kuhentikan langkah kaki beberapa siswa putri tersebut, kutanya, “Kalian
dari mana?”
Spontan
dengan ringan mereka menjawab,
”Dari kantin Bu.”
Ada
juga yang menjawab “dari belakang Bu”.
Kupandang ke empat gadis kecil itu satu persatu
tanpa sepatah kata pun. Ditengah keheningan itulah Tetha nyeletuk, “Ayo teman -teman,
duduk semua.”
Ke tiga temanya itu pun langsung
duduk di kursi masing- masing. Tinggalah Tetha yang berdiri di depanku. Dengan
sedikit membungkuk dia berkata, ”Jika ibu mau menghukum, hukum saja saya,
karena saya yang mengajak mereka ke kantin.”
Dari hati kecil sebenarnya anak ini
mengagumkan, mampu melindungi teman-temannya disaat kritis. Berani sekali anak
ini, pikirku. Tanpa basa-basi kujawab
singkat, “Bawa ke sini
tugas kalian.”
Dengan gelagapan Tetha menjawab, ”Lupa
Buk, kemarin pulang sekolah ikut ektra ....” kalimat ini sudah yang ke tiga kalinya kudengar.
“Nanti jam istirahat, ikut Ibuk ke
kantor, sekarang kamu boleh keluar.”
Kalimat terakhir ini ternyata mampu membuat anak ini bergetar, Tetha hanya
diam, kaget, dan
terbengong dengan perkataanku.
Aku tidak membencinya, anak ini cukup
cerdas, semangatnya tinggi, memiliki daya tarik tersendiri, tapi sering
bersikap semaunya sendiri, itulah cerita rumor yang beredar di antara kalangan
guru yang mengajar kelas ini.
Di dalam
kantor, ruang guru yang tidak terlalu luas, cuaca cukup panas. Berbekal dengan
keyakinan dan tekad bulat, aku akan mengubah ke empat gadis kecilku Tetha
dengan tim Rani nya menjadi empat gadis gadis teladan kebangganku, kebanggaan
kelasku dan kebanggan sekolah ini. Kupandangi ke empat gadis kecil di depanku
ini, kusajikan empat botol kecil air mineral untuk mereka, kupersilahkan untuk
minum, dan kutinggalkan berempat untuk tetap diam di dalam ruang guru sementara
aku harus berada di kelas yang berbeda.
Aku berharap banyak dengan kutinggal sendiri dalam
ruang akan memberikan efek positip untuk mereka. Dua jam pelajaran penuh mereka
tidak keluar ruang seperti biasanya yang selalu berkeliling kelas hampir tiada
henti, ramai dengan semua kelakar dan ocehanya.. Ketika aku kembali ke ruangan dimana aku meninggalkan keempat
gadis kecil Tetha dan kawan-kawan kudapati ruangan itu tetep sepi hanya ada
mereka berempat dan seorang guru lain yang sedang mengoreksi pekerjaan siswa.
Kusapa
mereka, “Rani cantik, bagaimana dengan penawaran Ibu? Sudah kalian pikirkan
bukan?”
Mereka diam dan akhirnya Tetha yang mulai pinpin
bicara, “ Ibu, setelah kami renungkan kami sepakat dengan penawaran Ibu,
pertama kami akan memnuhi semua tugas-tugas dari Bapak dan Ibu Guru serta kami
siap mengikuti bimbingan Ibu.”
Tanpa berucap, dengan senyum kuhampiri
mereka berempat, kepeluk dengan kedua tanganku, kurengkuh agar semakin dekat di hati.
Hari demi hari kutunggu proses mekarnya bunga lili
kecil, kutunggu proses perubahan yang dijanjikan keempat gadis kecil itu. Hari
ini aku melihatnya mereka masih beterbangan keliling sekolah, masih menari ke sana ke sini
tanpa kekhawatiaran apa pun.
Akhirnya seminggu pun berlalu, tanpa ada perubahan apa pun! Hati kecilku teriris. Berontak kupanggil
lagi mereka setelah sekali lagi tidak mengerjakan tugas sebagaimana yang
dijanjikan, kusiapkan sebuah catatan kecil di bukuku agar mereka bisa
menandatanganinya.
Ternyata metode ini lumayan manjur, kini ketertiban
mulai tumbuh, walaupun awalnya harus dipaksakan namun tak apalah semua untuk
kebaikan mereka. Dan setelah ini, perubahan itu makin nyata, sedikit demi
sedikit, hari ke hari, minggu ke minggu dan bulan ke bulan, keempat gadi
kecilku itu makin kompak. Makin
semangat dan menebarkan motivasi untuk berprestasi di setiap hari. Di tangan
mereka, kelas itu menjadi sangat tertib, tidak ada lagi hura-hura dan ajakan-ajakan
keluar kelas alias bolos menghindari salah satu pelajaran.
Sampai suatu hari “Tetha” datang menemuiku untuk
sekedar mengeluarkan unek-unek yang mereka rasakan, meraka pendam selama ini..
“Ibu, awalnya aku menyukai
pelajaran IPA khususnya biologi dan fisika, namun di akhir masa sekolah SMP
guru IPA ku pindah dan akhirnya di ganti guru baru yang sama sekali berbeda
baik cara mengajarnya, menyampaikan materinya maupun dalam memberikan nilai
ulangan kami. Guru baruku itu sering sekali salah membuat contoh-contoh
penyelesaian soal, salah jawaban bahkan beberapa kali menghapus jawaban yang
ditulisnya di papan tulis karena salah dan sering marah juga, terus selalu memberi kami tugas yang banyak. Pak
guru itu ketika mau ngajar, masuk kelas
kemudian mengucapkan salam, mengabsen dan langsung menuju papan tulis,
menuliskan rumus-rumus tanpa kita tau asal-usulnya.”.
Kulihat Tetha diam sejenak,
kemudian, “Ibu, aku menerima tawaran Ibu untuk mengikuti kompetisi
sains bulan depan, mohon bimbinganya dan doa ibu untuku agar aku bisa
membuktikan bahwa aku patut membawa nama sekolah kita.” Kalau
ada halilintar di siang bolong, inilah halilintar itu!
Hari demi hari setiap pulang
sekolah atau di setiap ada kesempatan, Tetha kecilku selalu memanfaatkan waktu
untuk mengasah olah ketajaman materi. Aku salut dengan kegigihanya, salut
dengan motivasinya, tak kenal lelah. Dan hari yang di janjikan itu pun
tiba. Sebuah perjuangan berat melawan rival yang tangguh. Tetha hadir mengisi hati
dengan segenggam harapan akan sebuah prestasi. Mulai penyisihan babak regional
dan sampai ke tingkat nasional. Meskipunbukan yang terbaik, tapi Tetha telah
membuktikan dirinya menjadi yang terbaik.
+==============================================================
Penulis
Nama Lengkap: Dra. PARWITI, M.Pd.Si.
Tempat/tgl lahir: Yogyakarta, 07 November 1964
Pendidikan : S1 Jurusan Pendidikan Fisika - IKIP Sanata Dharma Yogyakarta - S2 Pasca Sarjana Pendidikan Fisika UAD Yogyakarta -
Unit Kerja : MAN 3 Bantul.
Lahir di
Yogyakarta bulan November Tahun 1964 dari pasangan sederhana. Lahir dari
seorang ibu rumahtangga dan ayah yang bekerja di TNI AD. Sebagai seorang ABRI
ayah bekerja berpindah-pindah, namun terakhir menetap di Lampung. Kami tujuh
bersaudara dengan 4 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Impian ayah kami
adalah agar semua anaknya bisa melajutkan sekolah setinggi-tingginya bukan
seperti orang tuanya.
Di tahun 1994 di terima sebagai CPNS di lingkungan
departemen Pendidikan Dan Kebudayaan dengan bertugas di MAN Wonokromo sebagai
guru DPk. Dalam perkembangan kepegawaian yang terus bergulir, selalu berupaya
memberikan yang terbaik untuk Madrasah tercinta, khususnya di pengembangan
kurikulum, pembinaan prestasi akademik siswa yaitu OSN (Olimpiade Sains
Nasional) dan KSM(kompetisi Sains Madrasah) serta kompetisi sejenis MAN 3 Bantul, mengantarkan siswa di OSN propinsi dan KSM propinsi bahkan
nasional tahun 2018 serta membantu upaya
peningkatan kompetensi guru.
Di bidang Organisasi
Sejak tahun 1999 aktif sebagai salah satu pengurus MGMP Fisika SMA/MA Kabupaten
Bantul yaitu mengelola keuangan, pelaporan block grand. Kemudian di tahun 2010
hingga tahun 2016 mendarmabaktikan seluruh kemampuan untuk ikut berkontribusi
membangun MGMP Fisika MA Propinsi DI Yogyakarta.
Di Bidang Sosial sebagai
salah satu pengurus organisasi di
tingkat desa dan berperan aktif di bidang kesehatan. Di Tahun 2006 Maju sebagai
peserta keluarga Sakinah tingkat kabupaten dengan predikat juara ke dua
Di bidang pengembangan
diri Tahun 2014 lulus pada program pasca sarjana prodi Pendidikan Fisika di
universityas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta