Fisika dan Spiritualitas Fisika

0

 Fisika dan Spiritualitas Fisika

Suwandi

 

Saat lulus dari SMA N 6 C Yogya saya ingin masuk jurusan Biologi FKIE/FP MIPA IKIP N Yogyakarta (kini: UNY). Namun kakak saya yang alumni FKT keberatan, dengan alasan kelak jika cari kerja saingan lulusan Biologi lebih banyak. Ada dua pilihan, Fisika atau Kimia yang merupakan basis teknologi. Karena saya bisa merasa, lebih sreg dengan Fisika dibanding Kimia, maka pilihan pertama Fisika. Alhamdulillah diterima di tahun 1982. Meski kampus jauh dan harus bersepeda onthel, saya semangat kuliah. Mengingat belum punya sepeda motor. Saya nikmati proses ngonthel 20 Km dengan waktu tempuh minimal 40 menit. 

            Selain teori, tentu saja Fisika banyak praktikum di laboratorium. Kadang di IKIP Karangmalang, saat yang lain di Lakfip UGM di Bulaksumur. Sebab saat itu alat-alat lab di UGM lebih lengkap. Namun di sisi lain, saya masih sempat ikut berbagai organisasi. Diantaranya HMI, Menwa, dan INKAI. Akibatnya kuliah agak terganggu, namun senang banyak teman dan pengalaman serta penempaan diri. Kuliah jadi lebih lama itu risiko. Lebih dari empat tahun.

            Saat mahasiswa akhir bersama teman-teman mendirikan Bimbingan Belajar di wilayah Sleman dan sekitarnya. Maka kami menyebar info ke berbagai sekolah menawarkan program dengan biaya hemat. Beberapa sekolah justru meminta ngisi les di siang atau sore hari. Walau ada kepala sekolah SMP Negeri yang sudah sepuh, menolak mentah-mentah program kami. Dan menuduh kami, menganggap guru tidak gepoog (Bahasa Belanda), tidak pintar. Lalu kami disidang di hadapan guru-guru. Saya menggunakan hak jawab, “Jika Bapak tidak berkenan, kami mohon maaf. Niat kami membantu siswa di sini .…”

            Ketika semester tiga, ayah tercinta meninggal setelah sakit agak lama di rumah sakit. Saya harus berjuang lebih keras untuk kuliah sambil ngurus sawah orang tua. Setelah lulus, kami cari sekolah untuk jadi guru honorer sambil melihat peluang jadi guru negeri. Ternyata tak mudah. Namun gayung pun bersambut, setelah ngisi les alhamdulillaah saya diminta mengganti guru agama yang mengajar IPA di sebuah MTs swasta di Sleman. Seiring berjalannya waktu saya mendaftar berkali-kali untuk jadi guru PNS (kini: ASN). Tes tertulis diterima terus, tes Litsus (Penelitian Khusus) lolos, mungkin modal jadi Menwa. Namun saat ujian wawancara belum juga diterima. Ada peluang bagi yang tak diterima di DIY, bisa diterima asal mau ditempatkan di Timor Timur maupun Irian Jaya (kini: Papua). Mengingat ibu saya sudah sepuh, saya tetap berharap bisa diterima di Yogya.

Qodarulloh. Bi idznillaah. Akhirnya diterima di tahun 1994 dan ditempatkan di MAN Wonokromo Bantul (kini: MAN 3 Bantul). Menjadi penglajo (commuter) dengan jarak 30 Km dari Seyegan, waktu tempuh 45 menit dengan 12 bangjo. Berangkat dari rumah pukul 05.30 karena ngajar jam ke nol dan pulang setelah ‘asar atau jam ke- 9. Namun baru sekali terlambat, karena sepeda motor kebanan. Kelas telah diisi Bapak Drs Fadhil, Kepala Madrasah. Namun dimaklumi karena jarang terlambat. Mula-mula saya mengajar Matematika dan sedikit Fisika serta ekstra KIR/Jurnalistik. Masih beruntung dibanding teman guru Fisika lainnya yang mengajar Sosiologi dan Antropologi. Saat mengajar Fisika kami berusaha menghadirkan fakta, bukan cerita. Meski agak sulit, karena laboratorium belum maksimal. Misal, saat mengajarkan gravitasi Bumi, dengan alat ayunan sederhana per kelompok praktik di sekolah, atau rumah (banyak yang dari gunung atau bukit). Serta yang ikut KIR praktik di Gua Cerme dan Pantai Parangtritis. Bidang jurnalistik membuat buletin yang dikelola siswa.

            Setelah mengajar selama 4 tahun 7 bulan di MAN Wonokromo, permohonan mutasi lolos butuh setahun sebelumnya dikabulkan Kanwil Depag (kini: Kemenag) di bulan Oktober 1998 ke MAN Yogyakarta III atau Mayoga (kini: MAN 3 Sleman). Saat saya pamitan, siswa dan guru serta Kamad, sebenarnya digendholi. Mengapa? Siswa banyak yang berani ikut lomba dan rata-rata juara. Termasuk di tahun 1996 juara I LKTI di UGM, siswa yang juara lolos jadi mahasiswa UGM. Ada yang juara menulis surat se-Jawa, dan lain-lain. Begitu juga saya sering ikut lomba karya tulis, seperti Lomba Minat Baca di Perpusnas, Pemrop DIY serta mengirimkan tiga cerpen dan naskah drama lolos di Festival KesenianYogyakarta (FKY).

            Begitu pindah di Mayoga, lolos tugas belajar di IKIP N Bandung (kini: Universitas Pendidikan Indonesia atau UPI), syahwat untuk menulis tersalurkan. Apalagi biaya hidup (living cost) di Bandung relatif tinggi. Belum lagi bea siswa disunat (maaf: dikorupsi). Harusnya mendapat Rp 750 K/semester, hanya diterimakan separuhnya. Muncul ide untuk menulis di media massa selain ikut lomba untuk menutupi kekurangan biaya itu. Apalagi kost saya dekat Pesantren Daarut Tauhid (DT) binaan KH Abdullah Gymnastiar atau A’a Gym, yang juga ada toko buku dan penerbitannya. Pesantren DT dikelola anak-anak muda, mahasiswa dari berbagai PT. Penceramah datang dari berbagai kampus. Termasuk dosen-dosen MIPA dan Teknik dari PTN/PTS.

            Sepulang dari Bandung, selain mengajar Fisika juga Matematika serta KIR dan Jurnalistik. Tugasnya menerbitkan majalah Kreatif (kini: UP atau Ultra Prima). Setiap mengajar saya bawakan dan bacakan buku motivasi. Apalagi saya juga mengajar mapel muatan lokal (mulok) PPMB, Pembinaan Penalaran dan Minat Baca. Untuk kelas XI PPMB bernuansa KIR atau riset. Suatu saat untuk melengkapi 24 jam, saya ngajar IPA Fisika di beberapa SMP swasta, maka saya bawakan atau pinjamkan alat-alat lab. Senang sekali mereka. Pendekatan matematis kami lakukan dan trik-trik serta tip dikenalkan. Alumninya banyak yang bisa sekolah di sekolah negeri. Pernah juga saya diminta ikut mengajar di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq) Wonosobo, selama dua tahun, waktu belum ada kewajiban 24 jam/minggu. 

Salah satu cara agar Fisika tidak dianggap momok bagi siswa, ajarkan apa manfaat dan aplikasinya dalam kehidupan serta rahasia di balik rumus yang dikenal dengan spiritualitas Fisika. Kenalkan juga bahwa lambang besaran dan satuan dalam Fisika berasal dari bahasa Inggris. Jadi, siswa bisa belajar bahasa internasional juga. Misalkan, tekanan (hidup). Persamaan tekanan (pressure) P merupakan gaya (force) F di setiap satuan luas (area) A. Formula P = F/A. Jika diterapkan dalam diri manusia, jika ‘hati lapang’ suka silaturahmi niscaya akan berbanding terbalik, tekanan hidup mengecil. Namun akan sebaliknya jika hati sempit, tak mau bergaul, tekanan hidup besar. Jika tak kuat, akan stres ataupun depresi. Inilah yang dimaksud dengan nilai-nilai spirit dalam Fisika. Selain itu, pahami dulu ilmu alatnya sebagai pendukung, yakni Matematika yang terkait. Meski untuk beberapa atau banyak siswa, Matematika juga momok. Mempejari Fisika atau Ath-Thabi’i menurut Al Ghazali pun berarti menyelami ayat-ayat kauniyah.

 

Penulis

*) Suwandi, M.Pd., Alumnus Fisika FP MIPA IKIP N YK, dan S2 Fisika SL UPI Bandung, kini Guru MAN 3 Sleman Yogyakarta Bangga (Mayoga). Jln. Magelang KM 4 Yogyakarta 55284 Telp. (0274) 513 613

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)